Harga CPO di Pasar Lelang Turun ke Rp13.100 per Kg, TBS Sawit Ikut Tertekan!

Harga CPO di Pasar Lelang Turun ke Rp13.100 per Kg, TBS Sawit Ikut Tertekan!

Jakarta - Harga minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di pasar lelang mengalami penurunan signifikan menjadi Rp13.100 per kilogram, berdasarkan data terbaru dari PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) per 12 Mei 2025. Penurunan ini memengaruhi harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani, yang juga ikut tertekan. Faktor utama pelemahan harga ini adalah tren bearish di pasar global, ditambah dengan meningkatnya stok CPO di Indonesia dan Malaysia, dua negara produsen sawit terbesar dunia.

Menurut laporan KPBN, harga CPO pada lelang minggu ini turun sekitar 2,5% dari Rp13.450 per kilogram pada pekan sebelumnya. Penurunan ini sejalan dengan pelemahan harga CPO di Bursa Malaysia, yang mencatat penurunan lebih dari 10% sepanjang April 2025, seperti dilaporkan Bloomberg Technoz. Faktor utama yang memengaruhi penurunan ini adalah laporan data Malaysian Palm Oil Board (MPOB) yang menunjukkan peningkatan stok CPO di Malaysia menjadi 1,85 juta ton pada April 2025, tertinggi dalam tujuh bulan terakhir. Kelebihan pasokan ini memicu kekhawatiran pasar akan tekanan harga lebih lanjut.

Penurunan harga CPO berdampak langsung pada harga TBS di tingkat petani. Di Sumatera Utara, harga TBS untuk periode 5-11 Mei 2025 dilaporkan turun ke Rp3.205 per kilogram, menurut BeritaSatu. Di Kalimantan Timur, Dinas Perkebunan mencatat harga TBS untuk pohon umur 10 tahun pada periode 16-31 Januari 2025 juga terkoreksi seiring penurunan harga CPO dan kernel. Harga TBS yang rendah ini menjadi tantangan bagi petani sawit, terutama petani swadaya yang tidak memiliki kemitraan langsung dengan pabrik kelapa sawit (PKS).

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Manurung, menyatakan bahwa penurunan harga TBS memperburuk kondisi petani kecil. "Harga TBS di banyak daerah sudah di bawah biaya produksi, terutama di daerah tanpa sistem kemitraan yang kuat. Kami berharap pemerintah dapat mengintervensi untuk menstabilkan harga," ujarnya. Ia juga menyoroti peran tengkulak yang sering memanfaatkan situasi ini untuk menekan harga TBS lebih rendah lagi.

Faktor eksternal juga turut memengaruhi dinamika harga. Pasar global sedang mencermati potensi perlambatan permintaan dari negara importir utama seperti India dan Tiongkok, yang mulai beralih ke minyak nabati alternatif seperti minyak kedelai karena harga yang lebih kompetitif. Selain itu, penguatan ringgit Malaysia terhadap dolar AS membuat CPO Malaysia sedikit lebih mahal di pasar internasional, yang pada gilirannya menekan permintaan ekspor Indonesia. Harga referensi CPO untuk Februari 2025, menurut Kementerian Perdagangan, juga melemah mendekati ambang batas USD 680 per metrik ton, turun dari periode sebelumnya.

Di sisi lain, kenaikan pungutan ekspor CPO menjadi 10% mulai 17 Mei 2025, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 30 Tahun 2025, diprediksi akan menambah tekanan bagi eksportir. Kebijakan ini bertujuan mendukung program biodiesel dan peremajaan sawit, tetapi dapat mengurangi daya saing CPO Indonesia di pasar global, terutama di tengah ancaman Undang-Undang Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang mulai berlaku akhir 2025. EUDR mensyaratkan produk sawit bebas dari deforestasi, yang berpotensi membatasi akses pasar ke Eropa.

Meski harga CPO dan TBS tengah tertekan, beberapa analis optimistis bahwa harga dapat rebound dalam waktu dekat. Postingan di X dari @InvestorID menyebutkan bahwa aksi borong pemodal pada awal Mei 2025 sempat memicu rebound harga CPO, meskipun pasar kembali waspada menjelang rilis data MPOB berikutnya. Prediksi Bloomberg Technoz juga menyebutkan potensi kenaikan harga CPO pada Mei 2025, didorong oleh meningkatnya permintaan menjelang Ramadan 2026 dan potensi gangguan pasokan akibat cuaca ekstrem.

Untuk mengatasi dampak penurunan harga, pemerintah daerah di Kalimantan Timur mendorong kemitraan antara petani dan PKS guna menjamin harga TBS yang lebih stabil. Sistem kemitraan ini memungkinkan petani mendapatkan harga sesuai standar pasar tanpa campur tangan tengkulak. Selain itu, petani didorong untuk meningkatkan produktivitas melalui Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), yang didanai dari pungutan ekspor, guna menghasilkan TBS berkualitas tinggi yang lebih kompetitif.

Penurunan harga CPO dan TBS ini menjadi pengingat akan volatilitas pasar komoditas global. Petani, pelaku usaha, dan pemerintah perlu bekerja sama untuk mencari solusi jangka panjang, seperti diversifikasi produk hilir sawit dan peningkatan efisiensi produksi. Sementara itu, pelaku pasar diharapkan terus memantau perkembangan stok, permintaan global, dan kebijakan perdagangan untuk mengantisipasi fluktuasi harga di masa mendatang.