Kesepakatan dagang terbaru antara Amerika Serikat (AS) dan Cina telah mencuri perhatian dunia. Pada 12 Mei 2025, kedua raksasa ekonomi ini sepakat untuk menurunkan tarif impor secara signifikan selama 90 hari, mendinginkan perang dagang yang telah memicu ketidakpastian global. Tarif AS untuk barang Cina turun dari 145% menjadi 30%, sementara Cina memangkas tarif untuk produk AS dari 125% menjadi 10%. Kesepakatan ini tidak hanya memberikan angin segar bagi perekonomian dunia, tetapi juga membawa dampak positif bagi Indonesia, terutama pada pasar saham dan nilai tukar rupiah.
Perang dagang AS-Cina yang memanas sejak awal 2025 telah menciptakan tekanan besar pada pasar global. Tarif tinggi yang diberlakukan kedua negara membuat harga barang melonjak, mengganggu rantai pasok, dan memicu kekhawatiran resesi. Namun, negosiasi intensif di Jenewa, Swiss, yang melibatkan Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Wakil Perdana Menteri Cina He Lifeng, menghasilkan terobosan. Kesepakatan ini menandai de-eskalasi konflik dagang, memberikan pelaku pasar optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi global dapat pulih. Menurut Kementerian Luar Negeri Cina, kerja sama antarnegara harus menghormati kepentingan pihak ketiga, sebuah sinyal bahwa kesepakatan ini dirancang untuk menguntungkan lebih banyak pihak.
Di Indonesia, efek positif kesepakatan ini langsung terasa. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 2,15% atau 147,08 poin ke level 6.979,88 pada pembukaan perdagangan 14 Mei 2025, setelah libur panjang. Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menyatakan bahwa penguatan IHSG mencerminkan respons pasar yang positif, meskipun dampaknya masih bersifat sementara karena kesepakatan hanya berlaku 90 hari. Selain itu, nilai tukar rupiah juga menguat, didorong oleh sentimen positif terhadap perdagangan global. Indonesia, yang bergantung pada ekspor ke AS dan Cina, diuntungkan dari meredanya ketegangan yang sebelumnya mengancam daya saing produk ekspor seperti tekstil dan elektronik.
Secara global, institusi keuangan seperti Goldman Sachs menyambut baik kesepakatan ini. Mereka menaikkan proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Eropa untuk kuartal ketiga dan keempat 2025 menjadi 0,1%, dari sebelumnya stagnan, serta memprediksi inflasi Eropa mencapai 2,1% pada akhir tahun. Di Inggris, Goldman Sachs memperkirakan pertumbuhan PDB meningkat 0,6% antara kuartal kedua dan keempat, mendorong Bank of England untuk memangkas suku bunga secara bertahap hingga 3% pada Februari 2026. Perubahan ini mencerminkan kondisi keuangan global yang lebih longgar dan prospek pertumbuhan yang lebih baik.
Meski demikian, para analis mengingatkan bahwa kesepakatan ini masih bersifat sementara. Negosiasi lanjutan akan menentukan apakah kedua negara dapat mencapai kesepakatan jangka panjang yang lebih stabil. Bagi Indonesia, pemerintah perlu memanfaatkan momen ini untuk memperkuat diplomasi dagang bilateral dengan AS dan memperluas akses pasar. Dengan meredanya ketegangan dagang, peluang untuk meningkatkan ekspor dan menarik investasi asing semakin terbuka. Akankah kesepakatan ini menjadi titik balik bagi perekonomian global, atau hanya jeda sementara dalam persaingan AS-Cina?