Perekonomian Indonesia di awal kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan berat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2025 hanya mencapai 4,87%, melambat dibandingkan 5,02% pada kuartal keempat 2024 dan 5,11% pada kuartal pertama 2024. Angka ini jauh dari target ambisius pemerintah untuk mendorong pertumbuhan hingga 8%. Perlambatan ini dipicu oleh rendahnya daya beli masyarakat akibat terbatasnya pendapatan dan lapangan kerja, yang kini menjadi sorotan utama.
Salah satu faktor utama di balik melambatnya ekonomi adalah konsumsi rumah tangga yang melemah. Konsumsi rumah tangga, sebagai penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi, hanya tumbuh 4,91% pada kuartal pertama 2025, lebih rendah dari 4,93% pada kuartal sebelumnya. Daya beli yang menurun ini diperparah oleh kenaikan jumlah pengangguran, yang tercatat mencapai 7,47 juta orang per Agustus 2024, naik dari 7,20 juta orang pada Februari 2024. Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini kurang berkualitas karena rendahnya penyerapan tenaga kerja. Jika dulu tambahan 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap lebih dari 400 ribu tenaga kerja, kini hanya sekitar 100 ribu.
Deindustrialisasi prematur juga menjadi ancaman serius. Kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun, hanya mencapai 18%. Rendahnya kinerja industri manufaktur ini menunjukkan kurang optimalnya daya saing sektor industri, yang berdampak pada minimnya penciptaan lapangan kerja baru. Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menyebutkan bahwa akselerasi pertumbuhan ekonomi di atas 5% akan sulit tercapai tanpa pendekatan baru. Kabinet Merah Putih yang banyak diisi wajah-wajah lama dinilai kurang inovatif untuk mencapai target pertumbuhan 6%, apalagi 8%.
Di sisi lain, tantangan eksternal seperti pelemahan perdagangan global dan fluktuasi nilai tukar rupiah turut memperburuk situasi. Rupiah sempat menyentuh level Rp16.640 per dolar AS, level terlemah sejak krisis 1998, memicu kekhawatiran atas kenaikan harga barang impor dan biaya produksi. Sementara itu, defisit anggaran per Maret 2025 mencapai Rp104,2 triliun, menambah tekanan pada kesehatan fiskal. Untuk mengatasi ini, Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, menyarankan penguatan kebijakan fiskal seperti memperluas bantuan sosial dan menjaga tarif layanan publik, serta kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga acuan Bank Indonesia hingga 5% untuk mendorong investasi dan daya beli.
Meski menghadapi berbagai tantangan, pemerintah tetap optimistis. Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2025 bisa mencapai 5,1%, didukung oleh ekspansi fiskal dan permintaan domestik yang terjaga. Namun, tanpa terobosan signifikan dalam reformasi struktural dan penciptaan lapangan kerja, ancaman pengangguran dan perlambatan ekonomi akan terus membayangi. Pemerintah perlu segera bertindak untuk memastikan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.