Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan tolok ukur penting untuk menilai kesehatan fiskal suatu negara. Hingga Maret 2025, Indonesia mencatat rasio utang sebesar 40,1% terhadap PDB, meningkat dari tahun sebelumnya yang berada di angka 39,2%. Meskipun masih di bawah batas aman 60% sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Keuangan Negara, tren kenaikan ini tetap perlu diwaspadai.
Dalam konteks kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi menengah. Singapura memiliki rasio utang tertinggi dengan angka fantastis sebesar 174,94%. Laos menyusul di angka 112,2%, diikuti Malaysia 65%, dan Thailand 66%. Sementara negara-negara seperti Brunei Darussalam (2,2%), Timor Leste (15,1%), dan Kamboja (27,8%) menunjukkan angka yang jauh lebih rendah.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengingatkan bahwa risiko sebenarnya tidak hanya terletak pada besarnya rasio utang, melainkan juga pada kemampuan negara dalam membayar utang tersebut. Ia menyoroti rendahnya rasio pajak Indonesia terhadap PDB (tax ratio) yang stagnan di angka 10% sebagai titik lemah. Tanpa peningkatan pendapatan negara, pemerintah berisiko menambah utang hanya untuk menutup utang lama, sebuah kondisi yang dikenal sebagai gali lubang tutup lubang.
Pada tahun ini, pemerintah Indonesia berencana menarik utang sebesar Rp775,87 triliun untuk membiayai APBN 2025. Hingga kuartal pertama, pemerintah telah menarik sekitar Rp270,4 triliun. Dana tersebut digunakan untuk mendukung program-program strategis nasional, termasuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Kendati begitu, pemerintah mengklaim bahwa pengelolaan utang tetap dilakukan secara hati-hati dan terukur, mengingat sebagian besar utang berasal dari surat berharga negara dengan tenor panjang dan bunga yang relatif rendah.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai posisi Indonesia, berikut data rasio utang negara ASEAN tahun 2025:
Dengan data tersebut, Indonesia memang bukan negara dengan rasio utang tertinggi di kawasan, tetapi pengelolaan fiskal yang cermat tetap harus menjadi prioritas untuk menghindari tekanan keuangan di masa depan.