Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan rencana serangan militer baru di Jalur Gaza untuk menghancurkan kelompok Hamas secara total. Dalam pidato yang disiarkan pada Minggu (4/5/2025), Netanyahu menyatakan bahwa operasi militer ini akan melibatkan evakuasi warga sipil Gaza ke lokasi yang dianggap aman oleh Israel. Langkah ini diklaim sebagai bagian dari strategi untuk meminimalkan korban sipil sambil memastikan kekalahan Hamas sebagai entitas militer dan politik.
Pengumuman ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan di wilayah tersebut. Serangan rudal Houthi yang menghantam dekat Bandara Internasional Ben-Gurion pada hari yang sama memicu kepanikan di Tel Aviv, dengan sirene peringatan udara berbunyi di berbagai kota Israel. Situasi ini memperkuat tekad Netanyahu untuk memperluas operasi militer, yang menurutnya diperlukan untuk menjamin keamanan Israel dari ancaman kelompok militan seperti Hamas dan sekutunya.
Menurut Netanyahu, evakuasi warga Gaza akan dilakukan secara bertahap, dengan fokus pada wilayah utara dan timur Gaza yang dianggap sebagai basis operasi Hamas. Militer Israel telah mengeluarkan perintah evakuasi untuk sekitar 150.000 warga, meminta mereka meninggalkan rumah untuk menghindari zona tempur. Namun, langkah ini menuai kecaman keras dari komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menyebut evakuasi paksa ini melanggar hukum humaniter internasional. PBB mencatat bahwa sekitar 124.000 warga Palestina telah mengungsi akibat serangan Israel sejak Maret 2025.
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa sejak gencatan senjata terakhir runtuh pada 18 Maret 2025, lebih dari 2.300 warga Palestina telah tewas, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, dengan lebih dari 113.700 lainnya terluka sejak perang dimulai pada Oktober 2023. Serangan udara Israel juga menghancurkan infrastruktur vital, termasuk rumah sakit seperti Rumah Sakit Al-Ahli, yang semakin memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza. Blokade bantuan kemanusiaan yang diberlakukan Israel sejak awal Maret telah menyebabkan sekitar 290.000 anak-anak berada di ambang kematian akibat kelaparan dan kekurangan medis.
Netanyahu menegaskan bahwa tujuan utama operasi ini adalah membebaskan sandera yang masih ditahan oleh Hamas, yang saat ini diperkirakan berjumlah sekitar 58 orang, termasuk 34 yang diduga telah tewas. Ia memperingatkan Hamas akan menghadapi “konsekuensi yang tak terbayangkan” jika sandera tidak dibebaskan. Namun, Hamas menolak perpanjangan gencatan senjata tahap pertama dan bersikeras untuk melanjutkan ke tahap kedua, yang mencakup penghentian perang secara permanen. Tawaran Hamas untuk membebaskan sandera Amerika-Israel, seperti Edan Alexander, juga ditolak oleh Israel, yang menuduh Hamas menghambat negosiasi.
Kelompok militan Palestina tersebut menuding Israel sengaja melanggar gencatan senjata untuk memperpanjang konflik. Juru bicara Hamas yang baru saja gugur dalam serangan udara di Jabalia, Abdel-Latif al-Qanoua, sebelum kematiannya menyatakan bahwa serangan Israel hanya akan membahayakan sandera dan memperburuk penderitaan warga Gaza. Hamas juga mengklaim bahwa Israel berencana menduduki Gaza lebih lama, sebuah tuduhan yang diperkuat oleh pelantikan panglima militer baru Israel, Eyal Zamir, yang bersumpah untuk menghancurkan Hamas.
Reaksi internasional terhadap rencana Netanyahu sangat beragam. Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang baru-baru ini menyatakan dukungan untuk pengakuan negara Palestina, meminta Israel menghentikan serangan dan membebaskan sandera melalui gencatan senjata. Paus Fransiskus juga mendesak komitmen mendesak dari semua pihak untuk mengakhiri krisis kemanusiaan di Gaza. Sementara itu, Presiden AS Donald Trump, yang dikabarkan hampir mencapai kesepakatan dengan Netanyahu untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan tanpa kendali Hamas, belum memberikan pernyataan resmi terkait serangan baru ini.
Situasi di Gaza semakin kacau dengan laporan kebakaran hutan di pinggiran Yerusalem, yang memaksa Israel meminta bantuan internasional. Di tengah tekanan domestik dan internasional, termasuk surat perintah penangkapan dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terhadap Netanyahu atas dugaan kejahatan perang, pemerintah Israel tetap bersikeras bahwa operasi militer ini adalah satu-satunya cara untuk mencapai keamanan jangka panjang. Namun, keluarga sandera di Israel menyatakan kekhawatiran bahwa serangan yang diperluas justru membahayakan nyawa kerabat mereka.
Dengan meningkatnya kekerasan dan krisis kemanusiaan yang memburuk, dunia terus memantau perkembangan di Gaza. Tekanan untuk mencapai solusi diplomatik semakin mendesak, namun prospek gencatan senjata jangka panjang tampaknya semakin suram di tengah sikap keras kedua belah pihak.