Bisnis Mal di Ujung Tanduk: Mengapa Orang Indonesia Lebih Pilih Belanja Online?

Bisnis Mal di Ujung Tanduk: Mengapa Orang Indonesia Lebih Pilih Belanja Online?

Bisnis pusat perbelanjaan atau mal di Indonesia sedang menghadapi masa sulit. Pengusaha mal mengakui bahwa kondisi pasar sedang lesu, dengan jumlah pengunjung yang terus menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Apa yang menyebabkan fenomena ini? Perubahan kebiasaan belanja masyarakat Indonesia, terutama didorong oleh maraknya platform e-commerce dan pengaruh Generasi Z, menjadi salah satu biang kerok utama. Di tengah persaingan yang semakin ketat, mal harus berinovasi untuk tetap relevan di tahun 2025.

Salah satu faktor utama adalah pergeseran preferensi konsumen menuju belanja online. Platform seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada menawarkan kemudahan berbelanja dengan harga kompetitif, diskon besar-besaran, dan pengiriman cepat. Data terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 70% masyarakat Indonesia, terutama di perkotaan, lebih sering berbelanja secara online untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari pakaian hingga elektronik. Selain itu, momen belanja besar seperti Harbolnas atau promo 11.11 semakin mengalihkan perhatian konsumen dari mal fisik ke dunia digital.

Generasi Z, yang kini menjadi segmen konsumen terbesar, juga memainkan peran besar. Kelompok usia 18-28 tahun ini lebih menyukai pengalaman belanja yang cepat, praktis, dan terkoneksi dengan media sosial. Banyak dari mereka terinspirasi oleh konten di TikTok atau Instagram, yang langsung mengarahkan ke platform e-commerce melalui fitur seperti TikTok Shop atau Instagram Shopping. Studi terbaru menunjukkan bahwa 33% Gen Z lebih memilih membandingkan produk secara online sebelum membeli, dan mereka cenderung menghindari mal karena dianggap kurang fleksibel dan memakan waktu.

Kondisi ini diperparah oleh perlambatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya mencapai 4,87%, lebih rendah dari tahun sebelumnya, akibat melemahnya investasi dan belanja pemerintah. Daya beli masyarakat pun terdampak, membuat konsumen lebih selektif dalam membelanjakan uang mereka. Mal, yang biasanya mengandalkan pengeluaran untuk makanan, minuman, dan hiburan, kini kesulitan menarik pengunjung, terutama di luar akhir pekan atau musim libur seperti Lebaran.

Namun, tidak semua harapan hilang bagi bisnis mal. Beberapa pengusaha mulai beradaptasi dengan mengubah fungsi mal dari sekadar tempat belanja menjadi pusat gaya hidup. Mal kini berfokus pada pengalaman, seperti menawarkan area hiburan, acara musik, atau ruang komunitas untuk menarik pengunjung. Sebagai contoh, beberapa mal di Jakarta telah memperkenalkan zona kuliner tematik dan studio kreatif untuk menarik minat Gen Z. Selain itu, kolaborasi dengan platform e-commerce, seperti menyediakan titik pengambilan barang atau pop-up store dari merek online, juga menjadi strategi untuk menjembatani dunia fisik dan digital.

Tantangan ke depan adalah bagaimana mal bisa terus berinovasi di tengah perubahan perilaku konsumen yang begitu cepat. Pengusaha perlu memahami bahwa mal tidak lagi hanya tentang transaksi, tetapi tentang menciptakan pengalaman yang tidak bisa didapatkan secara online. Dengan daya beli yang masih fluktuatif dan dominasi e-commerce yang semakin kuat, 2025 akan menjadi tahun penentu bagi kelangsungan bisnis mal di Indonesia. Apakah mal bisa bangkit, atau justru semakin tenggelam di era digital ini?