China Desak AS Hapus Tarif Sepihak Jelang Negosiasi Dagang di Swiss

China Desak AS Hapus Tarif Sepihak Jelang Negosiasi Dagang di Swiss

Beijing - Ketegangan perdagangan antara China dan Amerika Serikat (AS) kembali memanas menjelang pembicaraan dagang perdana yang dijadwalkan akhir pekan ini di Swiss. China mendesak AS untuk mencabut tarif sepihak yang dikenakan pada berbagai produk asal China, menyebut kebijakan tersebut sebagai penghambat utama menuju negosiasi yang konstruktif. Pernyataan ini muncul hanya beberapa jam setelah Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa ia tidak bersedia menurunkan tarif, yang saat ini mencapai 145% untuk sebagian besar barang impor dari China, demi membuka jalan bagi pembicaraan yang lebih substansial.

Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, He Yadong, menegaskan bahwa tarif sepihak AS merupakan “penyalahgunaan kebijakan” yang tidak hanya merugikan China, tetapi juga membebani konsumen dan pelaku usaha di AS. “AS perlu menunjukkan itikad baik dengan membatalkan tarif sepihak dan menciptakan suasana yang kondusif untuk dialog,” ujar He dalam konferensi pers di Beijing, Kamis (8/5/2025). Ia juga membantah klaim AS bahwa telah ada komunikasi positif terkait negosiasi, menegaskan bahwa “laporan perkembangan pembicaraan tidak berdasar”.

Pertemuan dagang di Swiss akan mempertemukan Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer dengan Wakil Perdana Menteri China He Lifeng. Kedua belah pihak tampak mempertahankan posisi tegas untuk memperkuat daya tawar masing-masing. Trump, dalam pernyataannya, menekankan bahwa China gagal memenuhi komitmen pembelian produk AS sebagaimana disepakati dalam kesepakatan dagang Fase 1 tahun 2020, sehingga tarif tetap diperlukan untuk melindungi kepentingan ekonomi AS. Di sisi lain, China menegaskan kesiapannya untuk “bertarung sampai akhir” jika perang tarif berlanjut, meski pintu negosiasi tetap terbuka jika AS menunjukkan “ketulusan”.

Perang dagang ini telah berdampak luas, tidak hanya pada kedua negara, tetapi juga pada rantai pasok global. Data terbaru menunjukkan bahwa tarif AS telah menyebabkan kenaikan harga barang konsumsi di AS, sementara China merespons dengan mengurangi impor komoditas seperti jagung, kedelai, dan gandum dari AS hingga hampir nol di beberapa kategori. Sebagai gantinya, China memperkuat hubungan dagang dengan Asia Tenggara, yang kini menjadi mitra dagang terbesarnya di tingkat regional, dengan nilai perdagangan impor-ekspor mencapai 751,55 miliar yuan pada 2024. Strategi ini dianggap sebagai upaya Beijing untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.

Di tengah ketegangan, China juga memperingatkan negara-negara lain agar tidak “mengorbankan kepentingan Beijing” dalam negosiasi tarif dengan AS. Pernyataan ini merujuk pada laporan bahwa AS berupaya menekan mitra dagangnya, termasuk Indonesia, untuk membatasi perdagangan dengan China sebagai imbalan atas keringanan tarif impor. Presiden China Xi Jinping, dalam pertemuan dengan pemimpin negara-negara Asia Tenggara, menyerukan solidaritas regional untuk menentang “perundungan sepihak” AS. Sementara itu, Indonesia, melalui Kementerian Perdagangan, menegaskan akan tetap menjalankan hubungan dagang yang seimbang dengan AS dan China, tanpa memihak di tengah perang dagang kedua negara.

Eskalasi perang dagang ini juga memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar global. Menurut proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF), dampak ekonomi dari perang tarif dapat berlanjut hingga 2026, dengan potensi kerugian bagi kedua negara dan efek riak pada ekonomi global, termasuk pelemahan nilai tukar rupiah akibat ketidakstabilan pasar. Perusahaan China, khususnya di sektor panel surya, melaporkan kerugian signifikan pada kuartal pertama 2025, sementara platform e-commerce seperti Temu dan Shein terpaksa menaikkan harga barang akibat tekanan tarif AS.

Meski demikian, ada indikasi bahwa kedua belah pihak masih membuka peluang untuk meredakan ketegangan. Menteri Keuangan AS Scott Bessent membantah bahwa Trump menawarkan penurunan tarif secara sepihak, namun menegaskan bahwa AS siap berdialog untuk mencapai kesepakatan yang “adil”. Sementara itu, Duta Besar China untuk AS, Xie Feng, menyatakan bahwa Beijing mengharapkan hubungan dagang yang “berimbang dan harmonis”, dengan syarat AS menghormati kepentingan China. Dengan negosiasi di Swiss menjadi titik krusial, dunia kini menanti apakah kedua raksasa ekonomi ini mampu menemukan titik temu atau justru memperdalam konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun.