Banda Aceh - Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Provinsi Aceh mengalami penurunan signifikan menjadi Rp2.580 per kilogram, seiring anjloknya harga minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di pasar global. Penurunan ini dikonfirmasi oleh Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Cut Fitriani, dalam pernyataannya pada 13 Mei 2025. Pelemahan harga ini menjadi pukulan bagi petani sawit di wilayah yang dikenal sebagai salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di Sumatra.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, harga TBS sawit turun sekitar Rp120 dari harga pekan sebelumnya yang masih berada di kisaran Rp2.700 per kilogram. Penurunan ini dipicu oleh tren bearish harga CPO di pasar internasional, yang tertekan akibat kelebihan stok di negara produsen utama seperti Indonesia dan Malaysia. Laporan dari Bloomberg Technoz menyebutkan harga CPO di Bursa Malaysia turun lebih dari 10% sepanjang April 2025, dengan stok CPO Malaysia mencapai 1,85 juta ton, tertinggi dalam tujuh bulan terakhir.
Cut Fitriani menjelaskan bahwa penurunan harga TBS di Aceh juga dipengaruhi oleh fluktuasi harga inti sawit (kernel), yang turun tajam sebesar Rp740,91 per kilogram pada periode yang sama. "Harga TBS ditentukan berdasarkan harga CPO dan kernel di pasaran. Ketika keduanya turun, otomatis harga TBS ikut terdampak," ujarnya. Ia menambahkan bahwa harga tersebut berlaku untuk TBS dari pohon kelapa sawit berumur sembilan tahun dengan rendemen minyak 21,88%, yang merupakan standar penetapan harga di Aceh.
Penurunan harga TBS ini menambah tekanan bagi petani sawit, terutama petani swadaya yang bergantung pada tengkulak. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Aceh, M. Joni, menyatakan bahwa harga Rp2.580 per kilogram sudah mendekati biaya produksi, yang berkisar antara Rp2.300 hingga Rp2.500 per kilogram. "Banyak petani yang terpaksa menjual di bawah harga wajar karena tidak punya akses langsung ke PKS (pabrik kelapa sawit). Ini membuat mereka semakin sulit," keluhnya. Ia juga menyoroti peran tengkulak yang kerap menekan harga lebih rendah untuk memaksimalkan keuntungan.
Faktor global turut memperburuk situasi. Permintaan CPO dari negara importir utama seperti India dan Tiongkok mulai melambat, sebagian karena beralih ke minyak nabati alternatif seperti minyak kedelai yang lebih murah. Selain itu, penguatan ringgit Malaysia terhadap dolar AS membuat CPO Malaysia lebih mahal di pasar internasional, sehingga meningkatkan persaingan dengan CPO Indonesia. Postingan di X dari @kompascom pada 14 Mei 2025 menyebutkan bahwa ketegangan geopolitik India-Pakistan juga berpotensi mengganggu pasar CPO global, meskipun dampaknya belum sepenuhnya terasa.
Di sisi lain, kebijakan domestik seperti kenaikan pungutan ekspor CPO menjadi 10% mulai 17 Mei 2025, berdasarkan PMK Nomor 30 Tahun 2025, diperkirakan akan menambah beban eksportir. Kebijakan ini, yang bertujuan mendukung program biodiesel B40 dan peremajaan sawit rakyat, dapat mengurangi daya saing CPO Indonesia, terutama dengan ancaman Undang-Undang Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang berlaku akhir 2025. EUDR mensyaratkan produk sawit bebas dari deforestasi, yang berpotensi membatasi ekspor ke Eropa, pasar penting bagi CPO Indonesia.
Meski demikian, ada harapan untuk pemulihan harga. Beberapa analis memprediksi harga CPO dapat rebound menjelang Ramadan 2026, didorong oleh peningkatan permintaan minyak nabati untuk kebutuhan pangan. Selain itu, potensi gangguan pasokan akibat cuaca ekstrem, seperti La Niña, juga dapat mendorong harga naik. Postingan di X dari @BloombergTZ mencatat adanya aksi beli investor pada awal Mei 2025 yang sempat memicu kenaikan harga CPO, meskipun pasar kembali waspada menjelang rilis data stok terbaru.
Untuk mengatasi dampak penurunan harga, Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh mendorong petani untuk bergabung dalam sistem kemitraan dengan PKS. Sistem ini memungkinkan petani mendapatkan harga TBS yang lebih adil tanpa perantara tengkulak. Selain itu, petani didorong untuk memanfaatkan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) guna meningkatkan produktivitas kebun. "Kebun sawit yang sudah tua memiliki rendemen rendah, sehingga hasilnya kurang kompetitif. Dengan PSR, petani bisa menanam varietas unggul yang lebih produktif," jelas Cut Fitriani.
Penurunan harga TBS dan CPO ini mencerminkan tantangan berat dalam industri sawit, baik dari sisi pasar global maupun kebijakan lokal. Petani, pelaku usaha, dan pemerintah perlu bersinergi untuk mencari solusi, seperti memperkuat hilirisasi sawit dan meningkatkan efisiensi produksi. Sementara itu, petani di Aceh diharapkan tetap optimistis sembari memantau perkembangan pasar dan memanfaatkan program pemerintah untuk menjaga keberlanjutan usaha mereka.