Proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) kembali menjadi sorotan setelah perusahaan asal China menyatakan minatnya untuk ikut menggarap proyek strategis ini. Proyek ini, yang merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada impor LPG, kini melibatkan potensi kerja sama dengan investor China setelah perusahaan Amerika Serikat, Air Products, mengundurkan diri pada 2023. Namun, tantangan teknis dan keekonomian masih menjadi hambatan utama dalam mewujudkan DME sebagai alternatif energi rumah tangga yang kompetitif.
Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Arsal Ismail, mengungkapkan bahwa biaya produksi DME saat ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan harga jual yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selain itu, harga DME juga lebih mahal dibandingkan LPG impor, yang saat ini disubsidi dengan harga Rp22.727 per 3 kg atau sekitar US$474 per ton. Untuk DME bersubsidi, harga per 3 kg diperkirakan mencapai Rp34.069 atau US$710 per ton, menjadikannya kurang kompetitif di pasar. Dengan kebutuhan LPG nasional mencapai 10,78 juta ton per tahun, biaya subsidi LPG mencapai Rp82 triliun, dan DME harus mampu menawarkan solusi yang lebih ekonomis untuk menggantikan peran LPG.
Selain tantangan keekonomian, proyek DME juga menghadapi kendala teknis. Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi bersama PT Pertamina melaporkan pada 10 Maret 2025 bahwa infrastruktur konversi, seperti jalur distribusi dan kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME, masih belum memadai. Jalur distribusi DME membutuhkan jaringan pipa sepanjang sekitar 172 km, serta kesiapan jaringan niaga yang luas untuk memastikan bahan bakar ini tersedia secara merata di seluruh Indonesia. Tanpa infrastruktur yang memadai, distribusi DME berpotensi terhambat, memperlambat adopsi oleh masyarakat.
Meski menghadapi berbagai kendala, minat investor China memberikan angin segar bagi proyek ini. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyatakan bahwa empat perusahaan China telah mempresentasikan studi awal mereka, dengan salah satunya menyebutkan bahwa proyek DME masih layak secara ekonomi dengan Internal Rate of Return (IRR) hingga 16%. Pemerintah kini mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk menyelesaikan studi pra-kelayakan (pre-feasibility study) guna memastikan kelayakan proyek. Selain China, teknologi hilirisasi DME juga tersedia dari Amerika Serikat dan Afrika Selatan, namun China dinilai memiliki pengalaman yang relevan dalam pengembangan teknologi serupa.
Proyek DME merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mendukung ketahanan energi nasional dengan memanfaatkan batu bara kalori rendah yang melimpah di Indonesia. DME diharapkan menjadi alternatif energi bersih yang ramah lingkungan, dengan emisi karbon 20% lebih rendah dibandingkan LPG. Jika berhasil, proyek ini dapat mengurangi impor LPG yang saat ini mencapai 6-7 juta ton per tahun, menghemat devisa hingga Rp70 triliun annually. Proyek ini juga diproyeksikan menciptakan lapangan kerja baru, dengan estimasi 12.000 pekerja selama konstruksi dan 8.000 pekerja saat operasional.
Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, menegaskan komitmen untuk melanjutkan proyek ini tanpa bergantung pada investor asing untuk modal. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa pendanaan akan bersumber dari dalam negeri, termasuk melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), dengan total investasi mencapai US$11 miliar untuk empat proyek DME di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Namun, teknologi dari investor asing, termasuk China, tetap dibutuhkan untuk memastikan efisiensi produksi.
Keberhasilan proyek DME tidak hanya bergantung pada kelayakan ekonomi dan teknologi, tetapi juga pada regulasi yang kuat. Pengamat energi memperingatkan bahwa tanpa undang-undang yang mengikat, proyek ini berisiko terhenti akibat pergantian kepemimpinan, seperti yang terjadi pada beberapa program energi sebelumnya. Selain itu, pemerintah perlu memikirkan nasib pelaku usaha LPG, seperti agen dan pangkalan, agar mereka dapat beralih ke distribusi DME tanpa kehilangan mata pencaharian.
Dengan minat China dan komitmen pemerintah, proyek DME memiliki peluang besar untuk menjadi tonggak ketahanan energi Indonesia. Namun, keberhasilan proyek ini akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mengatasi tantangan teknis, menekan biaya produksi, dan membangun infrastruktur yang mendukung. Jika semua elemen ini dapat diselesaikan, DME berpotensi menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi impor LPG dan mendukung ekonomi nasional.