Jakarta - Pemerintah Indonesia resmi menaikkan tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dari 7,5% menjadi 10% mulai 17 Mei 2025. Kenaikan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan. Kebijakan ini bertujuan untuk mendukung program biodiesel dan peremajaan kebun sawit nasional, sekaligus menjaga keseimbangan pasokan domestik dan ekspor.
Kenaikan tarif pungutan ekspor ini tidak hanya berlaku untuk CPO, tetapi juga untuk sejumlah produk turunan sawit. Produk hilir seperti RBD Palm Oil, RBD Palm Olein, dan RBD Palm Stearin kini dikenakan tarif sebesar 7,5%. Sementara itu, minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue) dan limbah pengolahan sawit (Palm Oil Mill Effluent Oil/POME) juga dikenakan tarif 10%, sedangkan minyak jelantah (Used Cooking Oil) dan Palm Fatty Acid Distillate dikenakan tarif 9,5%. Untuk produk biodiesel, tarif ekspor naik dari 3% menjadi 4,75%. Aturan ini mulai berlaku tiga hari setelah diundangkan, tepatnya pada 8 Mei 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, kenaikan tarif ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk memperkuat pendanaan program strategis, seperti mandatori biodiesel B40 yang mulai diterapkan pada Januari 2025. Program ini diperkirakan meningkatkan kebutuhan CPO domestik hingga 25 juta ton per tahun, sehingga ekspor CPO diprediksi turun 4,13% menjadi sekitar 29 juta ton pada 2024, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Dana dari pungutan ekspor juga akan dialokasikan untuk Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) guna meningkatkan produktivitas kebun petani swadaya.
Namun, kebijakan ini menuai beragam tanggapan. Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), MP Tumanggor, mengapresiasi langkah pemerintah karena dianggap memperkuat hilirisasi sawit dan mendukung keberlanjutan program biodiesel. Di sisi lain, beberapa pelaku usaha khawatir kenaikan tarif dapat mengurangi daya saing produk sawit Indonesia di pasar global, terutama di tengah tantangan seperti Undang-Undang Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang akan berlaku pada 2025. EUDR dapat menghambat ekspor CPO ke Eropa karena persyaratan ketat terkait legalitas dan dampak lingkungan.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Budi Santoso, menjelaskan bahwa harga referensi CPO pada Juli 2024 mencapai USD 800,75 per metrik ton, naik 2,82% dari bulan sebelumnya. Kenaikan ini dipengaruhi oleh meningkatnya harga minyak kedelai, minyak mentah dunia, serta permintaan dari India dan Tiongkok yang tidak diimbangi produksi. Dengan tarif baru 10%, eksportir CPO harus membayar lebih tinggi, yang dapat memengaruhi margin keuntungan mereka. Meski begitu, pemerintah menegaskan bahwa kebutuhan domestik, khususnya untuk minyak goreng dan biodiesel, tetap menjadi prioritas utama.
Kebijakan ini juga memengaruhi kontrak kerja sama yang sudah ada. PMK 30/2025 menyebutkan bahwa perjanjian atau kontrak antara Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dan pihak lain yang dibuat sebelum aturan ini berlaku tetap dihormati hingga masa berlakunya berakhir. Pemerintah juga akan mengevaluasi pelaksanaan tarif ini secara berkala melalui koordinasi dengan Kementerian Pertanian, Perindustrian, ESDM, dan Perdagangan, serta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Kenaikan pungutan ekspor ini terjadi di tengah dinamika pasar global. Harga CPO yang fluktuatif, dipengaruhi oleh faktor seperti cuaca, kebijakan perdagangan internasional, dan persaingan dengan minyak nabati lain seperti minyak kedelai dan bunga matahari, menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, penguatan mata uang ringgit Malaysia terhadap dolar AS juga memengaruhi harga referensi CPO di pasar internasional. Untuk menjaga daya saing, pemerintah mendorong eksportir untuk meningkatkan efisiensi produksi dan mematuhi standar keberlanjutan seperti sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).
Bagi petani sawit, kebijakan ini diharapkan membawa dampak positif melalui Program PSR yang didanai dari pungutan ekspor. Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat Manurung, menyatakan bahwa harga tandan buah segar (TBS) petani saat ini cukup baik berkat program biodiesel. Namun, ia juga mengingatkan agar pemerintah memastikan dana pungutan benar-benar tersalurkan untuk peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani, bukan hanya untuk kepentingan industri besar.
Dengan kebijakan baru ini, Indonesia berupaya menyeimbangkan kepentingan ekspor dan kebutuhan domestik di tengah tekanan pasar global. Meski tantangan seperti EUDR dan fluktuasi harga tetap ada, pemerintah optimistis bahwa pengelolaan ekspor CPO yang lebih terarah dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia.