Kontroversi Dedi Mulyadi: Mengapa Prabowo Didesak Hentikan Program Barak Militer untuk Anak?

Kontroversi Dedi Mulyadi: Mengapa Prabowo Didesak Hentikan Program Barak Militer untuk Anak?

Polemik kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengirimkan anak-anak bermasalah ke barak militer untuk pembinaan disiplin terus memicu perdebatan. Program yang dimulai sejak 1 Mei 2025 di wilayah Purwakarta dan Bandung ini telah melibatkan sedikitnya 69 pelajar dari jenjang SMP dan SMA. Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA), yang mendesak Presiden Indonesia Prabowo Subianto untuk menghentikan langkah tersebut. Mereka menilai pendekatan militeristik ini tidak hanya melanggar hak anak, tetapi juga bertentangan dengan prinsip perlindungan anak yang diatur dalam hukum nasional dan internasional.

Dedi Mulyadi, yang dikenal dengan kebijakan-kebijakan sensasional, mengklaim bahwa program ini bertujuan untuk membina karakter anak-anak yang dianggap nakal atau sulit dikendalikan oleh orang tua dan guru. Menurutnya, anak-anak yang dikirim ke barak militer adalah mereka yang menunjukkan perilaku menyimpang, seperti tidak mau sekolah, sering balapan motor, atau bahkan cenderung melakukan tindakan kriminal. Program ini, kata Dedi, bukanlah pelatihan militer, melainkan pembinaan disiplin dengan pola hidup teratur, seperti tidur pukul 20.00, bangun pukul 04.00, serta kegiatan olahraga dan pembinaan rohani. Orang tua diwajibkan membuat surat pernyataan bahwa mereka tidak lagi mampu mendidik anaknya sebelum menyerahkan anak ke program ini.

Namun, Aliansi PKTA menegaskan bahwa pendekatan ini keliru dan berpotensi merugikan anak. Dalam pernyataan resminya pada 4 Mei 2025, aliansi menyebut bahwa mengirim anak ke barak militer untuk pendisiplinan tidak sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi ini menekankan perlindungan anak dari kekerasan fisik maupun mental serta pentingnya lingkungan yang suportif untuk perkembangan anak. Aliansi PKTA juga menyoroti risiko stigma negatif yang dapat melekat pada anak-anak yang mengikuti program ini, yang pada akhirnya bisa menghambat perkembangan psikologis dan sosial mereka.

Kritik serupa disampaikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, pada 2 Mei 2025, menyatakan bahwa program ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak sesuai dengan kewenangan TNI untuk melakukan pendidikan sipil. Menurutnya, jika tujuannya hanya untuk memperkenalkan karier militer, kunjungan singkat ke barak mungkin masih dapat diterima. Namun, menjadikan barak sebagai tempat pembinaan disiplin jangka panjang dianggap keliru dan berisiko menimbulkan trauma, terutama bagi anak-anak dengan kondisi mental yang rentan.

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, juga menilai kebijakan ini kurang tepat. Ia menegaskan bahwa Kementerian Pendidikan telah memiliki mekanisme baku untuk menangani siswa bermasalah melalui guru bimbingan dan konseling (BK) yang ada di setiap sekolah. Pendekatan edukatif, menurutnya, jauh lebih sesuai ketimbang pendekatan militeristik yang berpotensi memunculkan persepsi negatif tentang militerisasi dalam dunia pendidikan. Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, bahkan menyebut program ini berbahaya karena dapat membangkitkan trauma militerisme di kalangan anak-anak dan orang tua.

Di sisi lain, TNI Angkatan Darat melalui Kepala Dinas Penerangan, Brigjen Wahyu Yudhayana, menyatakan dukungannya terhadap program ini. Ia menyebut bahwa Kodam III/Siliwangi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sedang mempersiapkan kerja sama teknis untuk mendukung pembinaan ini. Namun, pernyataan ini justru memicu kekhawatiran tentang keterlibatan militer dalam urusan sipil, yang oleh sebagian kalangan dianggap melanggar batas tugas TNI sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Reaksi dari pejabat lain juga menunjukkan ketidaksetujuan. Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, secara tegas menyatakan bahwa pendekatan ini tidak akan diterapkan di wilayahnya. Ia lebih memilih mematuhi aturan yang sudah ada ketimbang menciptakan inovasi yang kontroversial. Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyarankan agar kebijakan ini dikaji ulang dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan efektivitasnya.

Di tengah kontroversi, Dedi Mulyadi tetap bersikukuh bahwa program ini diperlukan untuk mengatasi ketidakmampuan orang tua dan guru dalam menangani anak-anak bermasalah. Ia menegaskan bahwa anak-anak tetap akan belajar seperti biasa selama di barak dan tidak akan kehilangan status pelajar. Namun, tanpa kajian mendalam tentang dampak psikologis dan sosial, program ini terus menuai kritik sebagai solusi yang terburu-buru dan tidak ramah anak.

Desakan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan program ini mencerminkan kekhawatiran luas tentang masa depan pendidikan anak di Indonesia. Aliansi PKTA menyarankan pendekatan alternatif, seperti memperkuat peran keluarga melalui program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang dikelola Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pendekatan ini dinilai lebih sesuai untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak tanpa menimbulkan risiko trauma atau pelanggaran hak.

Kontroversi ini menunjukkan tantangan besar dalam menyeimbangkan disiplin dan perlindungan anak dalam sistem pendidikan. Tanpa evaluasi menyeluruh, kebijakan Dedi Mulyadi berisiko menjadi preseden buruk yang dapat merugikan generasi muda. Publik kini menanti langkah konkret dari pemerintah pusat untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pendidikan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.