Kejagung Tangkap Bos Buzzer: Ketua Tim Cyber Army Jadi Tersangka, Terima Rp864 Juta untuk Rintangi Penyidikan

Kejagung Tangkap Bos Buzzer: Ketua Tim Cyber Army Jadi Tersangka, Terima Rp864 Juta untuk Rintangi Penyidikan

Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menggemparkan publik dengan menetapkan M Adhiya Muzakki (MAM), yang dikenal sebagai ketua Tim Cyber Army, sebagai tersangka dalam kasus perintangan penyidikan. MAM, yang disebut-sebut sebagai "bos buzzer," diduga terlibat dalam upaya menghambat proses hukum tiga kasus korupsi besar, yaitu dugaan korupsi PT Timah, impor gula, dan suap ekspor crude palm oil (CPO). Dalam aksinya, ia memimpin tim beranggotakan 150 buzzer untuk menyebarkan narasi negatif terhadap Kejagung melalui media sosial. Total, MAM menerima bayaran sebesar Rp864,5 juta untuk mengkoordinasikan aksi ini, menjadikan kasus ini sorotan utama dalam penegakan hukum di Indonesia.

Penetapan MAM sebagai tersangka diumumkan dalam konferensi pers yang digelar Kejagung di Jakarta pada Rabu malam, 7 Mei 2025. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menjelaskan bahwa MAM bekerja sama dengan tiga tersangka lainnya, yaitu Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS), yang merupakan advokat, serta Tian Bahtiar (TB), mantan Direktur Pemberitaan JakTV. Mereka diduga melakukan permufakatan jahat untuk mengganggu penyidikan, penuntutan, dan persidangan kasus-kasus korupsi yang ditangani Kejagung. Aksi ini dilakukan secara terstruktur untuk menciptakan persepsi buruk terhadap institusi penegak hukum di mata publik.

Peran Tim Cyber Army dan Buzzer

Menurut Abdul Qohar, MAM membentuk Tim Cyber Army atas permintaan Marcella Santoso. Tim ini dibagi menjadi lima kelompok, yang dinamakan Tim Mustafa I hingga Tim Mustafa V, dengan total sekitar 150 anggota buzzer. Setiap buzzer dibayar Rp1,5 juta untuk menyebarkan komentar dan konten negatif di berbagai platform media sosial, seperti TikTok, Instagram, dan Twitter. Konten-konten tersebut dirancang untuk mendiskreditkan Kejagung, terutama dengan menyerang metodologi penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh ahli penyidik. Narasi yang disebarkan menyatakan bahwa perhitungan tersebut tidak benar, menyesatkan, dan merugikan hak-hak tersangka atau terdakwa.

Selain menyebarkan konten negatif, MAM juga diduga memproduksi video yang berisi pernyataan dari MS dan JS untuk memperkuat narasi mereka. Video-video ini diunggah di media sosial untuk memengaruhi opini publik dan mengganggu konsentrasi penyidik. Lebih jauh, MAM dituduh merusak barang bukti berupa ponsel yang berisi percakapan dengan Marcella dan Junaedi, yang menjadi bukti kunci permufakatan mereka. Tindakan ini semakin memperkuat dugaan bahwa MAM berupaya menghalangi proses hukum secara sengaja.

Aliran Dana Rp864,5 Juta

Sebagai imbalan atas perannya, MAM menerima dana sebesar Rp864,5 juta dari Marcella Santoso. Uang tersebut disalurkan melalui dua tahap. Pada tahap pertama, MAM menerima Rp697,5 juta melalui Indah Kusumawati, staf keuangan di kantor hukum Ariyanto Arnaldo Law Firm (AALF). Tahap kedua sebesar Rp167 juta diserahkan melalui Rizki, seorang kurir di kantor hukum yang sama. Dana ini digunakan untuk membayar buzzer, memproduksi konten, dan mengkoordinasikan operasi Tim Cyber Army. Besarnya jumlah uang yang diterima MAM menunjukkan skala operasi yang terorganisir dan terstruktur dalam kasus ini.

Kasus Korupsi yang Dirintangi

Tiga kasus korupsi yang menjadi sasaran perintangan penyidikan oleh MAM dan timnya adalah:

  • Korupsi PT Timah: Kasus ini terkait tata kelola komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah.
  • Impor Gula: Dugaan korupsi ini menyeret mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), yang dituduh memberikan izin impor gula meski Indonesia dinyatakan surplus gula pada 2015.
  • Suap Ekspor CPO: Kasus ini melibatkan tiga perusahaan besar—PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group—yang diduga memberikan suap untuk mendapatkan vonis lepas dalam perkara ekspor crude palm oil.

Ketiga kasus ini merupakan perkara korupsi besar yang memiliki dampak signifikan terhadap keuangan negara dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Upaya MAM dan timnya untuk mengganggu penyidikan dianggap sebagai bentuk intervensi serius yang dapat melemahkan supremasi hukum.

Sanksi Hukum dan Penahanan

Atas perbuatannya, MAM dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal ini mengatur tentang perintangan penyidikan atau obstruction of justice, yang merupakan tindak pidana serius dalam sistem hukum Indonesia. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, MAM langsung ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejagung untuk 20 hari ke depan, terhitung sejak 7 Mei 2025.

Dengan penetapan MAM, total tersangka dalam kasus perintangan penyidikan ini menjadi empat orang, yaitu MAM, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Tian Bahtiar. Kejagung menegaskan bahwa pihaknya tidak akan segan menindak siapa pun yang berupaya mengintervensi penegakan hukum, termasuk melalui serangan digital yang terorganisir seperti yang dilakukan Tim Cyber Army.

Dampak dan Peringatan bagi Publik

Kasus ini menyoroti bahaya penyalahgunaan media sosial untuk kepentingan yang merugikan proses hukum. Aktivitas buzzer yang terorganisir, seperti yang dilakukan MAM, tidak hanya menciptakan disinformasi tetapi juga dapat memengaruhi persepsi publik dan melemahkan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum. Kejagung menegaskan bahwa tindakan semacam ini merupakan bentuk kejahatan siber yang terstruktur, yang harus ditangani dengan tegas untuk menjaga integritas proses hukum.

Penetapan MAM sebagai tersangka juga menjadi peringatan bagi pelaku serupa yang menggunakan buzzer atau media sosial untuk menyebarkan narasi negatif demi kepentingan tertentu. Di era digital, penegakan hukum tidak hanya terbatas pada ranah fisik tetapi juga mencakup kejahatan siber yang dapat merusak tatanan hukum dan demokrasi. Publik diimbau untuk lebih kritis terhadap informasi yang beredar di media sosial dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang belum terverifikasi.

Kasus ini masih terus dikembangkan oleh Kejagung. Penyidik sedang mendalami kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam operasi Tim Cyber Army serta aliran dana yang lebih besar. Dengan langkah tegas ini, Kejagung menunjukkan komitmennya untuk melindungi proses hukum dari segala bentuk intervensi, baik yang dilakukan secara langsung maupun melalui dunia maya. Publik kini menanti perkembangan lebih lanjut dari kasus yang telah menarik perhatian luas ini.