Jakarta - Serangan militer Israel di Jalur Gaza terus mengakibatkan korban jiwa dan memperburuk krisis kemanusiaan. Pada Rabu, 14 Mei 2025, sedikitnya 120 warga Palestina tewas dan ratusan lainnya luka-luka akibat serangan udara dan darat Israel, menurut laporan Kementerian Kesehatan Gaza. Serangan ini menargetkan fasilitas sipil, termasuk sekolah, rumah warga, dan tenda pengungsian, memperparah kondisi warga yang sudah terlantar. Tragisnya, tiga rumah sakit utama di Gaza, termasuk Rumah Sakit Kamal Adwan, kini terpaksa berhenti beroperasi karena kekurangan bahan bakar, pasokan medis, dan serangan langsung yang merusak infrastruktur.
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa serangan Israel sejak Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 48.500 orang, dengan 70% korban adalah perempuan dan anak-anak. Pada 14 Mei 2025, serangan udara Israel di Khan Younis dan Gaza Utara menewaskan 80 orang dalam 24 jam, termasuk 20 anak-anak, seperti dilaporkan oleh Al Jazeera. Rumah Sakit Eropa dan Nasser di Khan Younis menjadi sasaran, menyebabkan kerusakan parah dan memaksa evakuasi pasien dalam kondisi darurat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut situasi ini sebagai "bencana kesehatan" karena hanya tiga dari 36 rumah sakit di Gaza yang masih berfungsi secara terbatas.
Blokade Israel terhadap bantuan kemanusiaan sejak Maret 2025 semakin memperburuk keadaan. Truk bantuan yang menunggu di perbatasan Rafah tidak diizinkan masuk, menyebabkan kelangkaan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Harga bahan pokok seperti tomat melonjak hingga 30 shekel (sekitar Rp137.000) per kilogram, tidak terjangkau bagi warga yang kehilangan penghasilan. Direktur Jaringan Organisasi Nonpemerintah Palestina (PNGO), Amjad Shawa, menggambarkan situasi ini sebagai "tragedi tak tergambarkan," dengan warga Gaza berjuang bertahan hidup di tengah ketakutan akan bom dan kelaparan.
Serangan Israel juga menargetkan pekerja bantuan kemanusiaan, memperumit upaya penyelamatan. Pada 23 Maret 2025, 15 petugas medis dari Bulan Sabit Merah Palestina dan Pertahanan Sipil Gaza tewas dalam serangan terhadap konvoi ambulans di Rafah. Militer Israel mengakui kesalahan dalam insiden ini, namun klaim mereka bahwa konvoi tidak terkoordinasi dibantah oleh rekaman yang menunjukkan ambulans dengan lampu menyala. Sejak Oktober 2023, lebih dari 200 pekerja bantuan kemanusiaan telah tewas, menjadikan Gaza sebagai tempat paling mematikan bagi relawan, menurut Komite Penyelamatan Internasional (IRC).
Komunitas internasional terus menyerukan gencatan senjata, namun upaya diplomatik terhambat. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menegaskan bahwa serangan terhadap fasilitas sipil seperti rumah sakit melanggar hukum humaniter internasional dan harus dihentikan. Indonesia, bersama negara-negara lain, mendesak Israel untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk tanpa hambatan. Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa operasi militer akan diperluas untuk "menghapus ancaman Hamas," meskipun Hamas membantah menggunakan fasilitas sipil untuk operasi militer.
Sentimen di media sosial, khususnya di platform X, mencerminkan kemarahan global terhadap eskalasi kekerasan ini. Banyak pengguna mengecam serangan terhadap rumah sakit dan pekerja bantuan, menyebutnya sebagai pelanggaran kemanusiaan. Sementara itu, blokade bantuan telah memicu kelaparan massal, dengan laporan PBB menyebutkan bahwa 80% penduduk Gaza kini bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup. Tanpa intervensi segera, krisis ini berisiko menjadi bencana kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern.
Pemerintah Indonesia telah mengirimkan dua pesawat bantuan ke Mesir untuk Gaza, namun distribusi terhambat di perbatasan Rafah. Situasi di Gaza terus memburuk, dengan warga sipil terjebak dalam siklus kekerasan, kelaparan, dan keputusasaan. Dunia kini menanti langkah konkret untuk menghentikan serangan dan memastikan bantuan sampai ke tangan mereka yang membutuhkan. Pertanyaan besar tetap: sampai kapan warga Gaza harus menanggung penderitaan ini?