Direktur Utama PT Timah Tbk, Restu Widiyantoro, membeberkan fakta mencengangkan terkait maraknya aktivitas tambang timah ilegal yang menggerogoti kinerja perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Restu mengungkap bahwa PT Timah hanya mampu mengendalikan 20% dari total operasional tambang di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan, sementara 80% dikuasai oleh pihak luar, termasuk penambang ilegal. Salah satu nama yang mencuat dalam pembahasan ini adalah Harvey Moeis, pengusaha yang terseret kasus korupsi tata niaga timah dengan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun.
Restu menjelaskan bahwa PT Timah menghadapi tantangan besar dalam mengelola wilayah IUP-nya di Bangka Belitung. Dari total operasional tambang, hanya 20% yang benar-benar dikelola oleh perusahaan, baik melalui kerja sama dengan mitra resmi maupun operasi langsung. Sisanya, sebanyak 80%, berada di luar kendali PT Timah dan dikuasai oleh penambang ilegal yang beroperasi tanpa izin resmi. “Kami tidak punya kuasa penuh atas IUP kami sendiri. Penambang liar ini sangat masif, bahkan melibatkan masyarakat lokal yang menjadikan tambang sebagai mata pencaharian,” ungkap Restu. Aktivitas ilegal ini tidak hanya merugikan keuangan perusahaan, tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, dengan luas kerusakan diperkirakan mencapai dua kali luas DKI Jakarta.
Nama Harvey Moeis disebut dalam konteks kasus korupsi yang melibatkan PT Refined Bangka Tin (RBT), perusahaan yang diduga bekerja sama dengan PT Timah untuk mengelola tambang timah ilegal. Restu menyatakan bahwa kerjasama dengan pihak swasta, termasuk yang melibatkan Harvey, awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan produksi timah. Namun, praktik ini justru membuka celah bagi penambangan liar yang tidak terkendali. Harvey, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada Maret 2024, didakwa sebagai perpanjangan tangan PT RBT, mengatur hubungan dengan smelter swasta untuk mengakomodasi bijih timah ilegal, dengan keuntungan yang disamarkan sebagai dana CSR. Total kerugian negara dari kasus ini mencakup Rp 2,28 triliun dari sewa alat, Rp 26,65 triliun dari pembayaran bijih ilegal, dan Rp 271 triliun dari kerusakan lingkungan.
Restu juga menyoroti kompleksitas penanganan tambang ilegal. Banyak penambang liar adalah masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari aktivitas ini, sehingga penindakan keras berisiko memicu konflik sosial. “Kami pernah mencoba menertibkan, tetapi menghadapi resistensi besar dari masyarakat. Ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga sosial dan ekonomi,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa para “collector” atau penadah bijih timah ilegal memainkan peran kunci dalam melanggengkan praktik ini, sebagaimana pernah diungkap oleh mantan Direktur PT Timah, Sukirno, pada 2015. Penegakan hukum yang lemah, ditambah kurangnya pengawasan dari Dinas ESDM Bangka Belitung, membuat tambang ilegal terus menjamur.
Akibat maraknya tambang ilegal, PT Timah mengalami penurunan signifikan dalam ekspor timah, terutama saat harga timah dunia melonjak di atas USD 30.000 per metrik ton. Restu menyebut bahwa ekspor timah Indonesia mencapai titik terendah dalam sejarah, menyebabkan hilangnya devisa, pajak, dan royalti. Ironisnya, negara tetangga yang tidak memiliki cadangan timah justru mengalami kenaikan produksi, diduga karena penyelundupan bijih dari Indonesia. Posisi PT Timah sebagai eksportir timah terbesar dunia pun terancam, dengan kinerja perusahaan merosot akibat persaingan dengan penambang ilegal dan smelter swasta.
Untuk mengatasi masalah ini, PT Timah mengusulkan beberapa langkah strategis. Pertama, memperketat regulasi terkait asal-usul bijih timah agar smelter tidak menerima barang ilegal. Kedua, meningkatkan kerja sama dengan aparat penegak hukum untuk menindak penadah dan penambang liar tanpa memicu konflik sosial. Ketiga, mengedukasi masyarakat lokal untuk beralih ke kegiatan ekonomi yang legal, seperti program pertambangan rakyat yang terkontrol. Restu juga menyinggung perlunya reformasi tata kelola tambang, termasuk optimalisasi Sistem Informasi Mineral dan Batubara (SIMBARA) untuk memantau aktivitas pertambangan. “Kami butuh dukungan semua pihak, termasuk DPR dan Kementerian ESDM, untuk mengembalikan kendali atas IUP kami,” tegasnya.
Kasus tambang ilegal dan keterlibatan figur seperti Harvey Moeis menjadi cerminan buruknya pengawasan di sektor pertambangan Indonesia. Dengan kerugian lingkungan yang mencapai ratusan triliun dan dampak sosial yang kompleks, PT Timah menghadapi tantangan berat untuk memulihkan reputasi dan kinerjanya. Ke depan, transparansi, penegakan hukum yang tegas, dan pendekatan yang berpihak pada masyarakat lokal akan menjadi kunci untuk mengatasi krisis ini dan mengembalikan kejayaan industri timah Indonesia.