Timor Leste, yang merdeka dari Indonesia pada 20 Mei 2002, memilih dolar Amerika Serikat (AS) sebagai mata uang resmi sejak tahun 2000, menggantikan rupiah Indonesia yang digunakan saat masih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keputusan ini diambil untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah masa transisi pasca-referendum 1999 dan kurangnya infrastruktur untuk mencetak mata uang sendiri. Artikel ini mengulas sejarah adopsi dolar AS oleh Timor Leste, alasan di balik keputusan tersebut, dampaknya, serta konteks historis kemerdekaannya, berdasarkan laporan Kompas.com per 20 Mei 2025 dan sumber pendukung lainnya.
Timor Leste, sebelumnya dikenal sebagai Timor Timur, merupakan provinsi ke-27 Indonesia sejak integrasi pada 17 Juli 1976, menyusul Operasi Seroja setelah dekolonisasi Portugal pada 1975. Namun, integrasi ini menuai konflik berkepanjangan, terutama dari kelompok Fretilin yang menginginkan kemerdekaan. Tekanan internasional, termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mendorong referendum pada 30 Agustus 1999 di bawah pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Hasilnya, 78,5% warga Timor Timur memilih merdeka, menolak otonomi dalam NKRI. Masa transisi dikelola oleh United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) hingga kemerdekaan resmi pada 20 Mei 2002, dengan Xanana Gusmao sebagai presiden pertama dan Dili sebagai ibu kota.
Sebelum merdeka, Timor Leste menggunakan rupiah Indonesia. Pasca-referendum 1999, ekonomi wilayah ini berada dalam ketidakstabilan, ditambah kerusakan infrastruktur akibat konflik. Pada 24 Januari 2000, UNTAET mengeluarkan Regulation 2000/7, menetapkan dolar AS sebagai mata uang resmi untuk transaksi, pembayaran, dan cadangan devisa. Keputusan ini diambil karena beberapa alasan:
Selain dolar AS, Timor Leste memperkenalkan koin Centavo Timor Leste (pecahan 1, 5, 10, 25, 50, 100, dan 200) sebagai mata uang pelengkap untuk transaksi kecil, dengan nilai 100 Centavo setara 1 dolar AS. Koin ini pertama kali diterbitkan pada November 2003 oleh Banco Central de Timor-Leste, dengan desain mencerminkan budaya lokal, seperti buaya dan bunga kopi.
Transisi dari rupiah ke dolar AS dilakukan bertahap selama masa administrasi UNTAET (1999–2002). Langkah-langkahnya meliputi:
Meski awalnya direncanakan sebagai solusi sementara selama 2–3 tahun, dolar AS tetap menjadi mata uang resmi hingga 2025 karena stabilitasnya dan kurangnya urgensi untuk mengganti dengan mata uang nasional.
Penggunaan dolar AS membawa dampak signifikan bagi Timor Leste:
Pasca-kemerdekaan, ekonomi Timor Leste bergantung pada pendapatan minyak dan gas dari Teluk Timor, yang dikelola melalui Petroleum Fund. Namun, tingkat pengangguran tetap tinggi, dengan 13,1% pada 2023, dan kemiskinan masih menjadi tantangan, dengan 41,8% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Penggunaan dolar AS membantu menstabilkan harga komoditas impor, tetapi juga mempersulit ekspor produk lokal karena nilai tukar yang kuat. Posts on X mencerminkan sentimen bahwa dolar AS memudahkan transaksi internasional, tetapi koin Centavo lebih praktis untuk kebutuhan sehari-hari di pasar lokal.
Hingga Mei 2025, tidak ada rencana konkret untuk mengganti dolar AS dengan mata uang nasional, meskipun diskusi tentang kedaulatan moneter muncul secara berkala. Pemerintah Timor Leste, melalui Banco Central, terus memperkuat cadangan devisa dan mengevaluasi potensi mata uang lokal. Namun, tantangan seperti biaya pencetakan, stabilitas ekonomi, dan penerimaan global membuat dolar AS tetap menjadi pilihan utama. Beberapa ekonom menyarankan model hibrida, di mana Centavo diperkuat sebagai mata uang utama dengan dolar AS sebagai cadangan.
Adopsi dolar AS oleh Timor Leste adalah langkah pragmatis untuk menavigasi masa transisi pasca-kemerdekaan. Meski membawa stabilitas, keputusan ini juga menimbulkan tantangan jangka panjang, terutama dalam membangun identitas moneter dan mengurangi ketergantungan pada ekonomi AS. Informasi ini dirangkum berdasarkan laporan Kompas.com, sumber resmi PBB, dan sentimen di media sosial per Mei 2025.